RESUME BUKU MENUJU JAMA’ATUL MUSLIMIN
(TELAAH SISTEM JAMAAH DALAM GERAKAN ISLAM)
OLEH :
FATIH RUKHAMA
Judul Asli : Ath-Thariqq Ila Jama’atil
Muslimin
Penulis Buku : Hussain Bin Muhammad Bin Ali
Jabir,M.A.
Penerbit : Daarul Wafa’, Kairo
Penerjemah : Aunur Rafiq Shaleh Tamhid,Lc
“Tidak Ada Islam Melainkan Dengan Jamaah,
Tidak Ada Jamaah Kecuali Dengan Imamah (Kepemimpinan) Dan Tidak Ada
Kepemimpinan Kecuali Dengan Ketaatan.”
-UMAR BIN KHATHTHAB R.A-
PENDAHULUAN
Pengertian Jama’ah Menurut Bahasa di dalam al-mu’jam
al-wasith, jamaah diartikan dengan : sejumlah besar manusia, atau
sekelompok manusia yang berhimpun untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut
syari’at, Jama’ah adalah bagian dari Jama’atul Muslimin, sedangkan Jama’atul
Muslimin sendiri adalah masyarakat umum dari penganut Islam apabila bersepakat
untuk memilih seorang amir diantara mereka dan bersepakat terhadap suatu
perkara.
Jama’atul Muslimin mempunyai kedudukan yang mulia dalam syari’at
Islam. Selain itu, Jama’atul Muslimin merupakan sesuatu yang wajib ditegakkan
dalam kehidupan umat. Karena Ia
merupakan ikatan yang kokoh yang bila ia hancur maka akan hancur pula
ikatan-ikatan Islam lainnya.
Pada kehidupan dewasa ini Jama’atul Muslimin sudah tidak berdiri.
Jama’atul Muslimin telah menghilang seiring dengan dibubarkannya Khilafah
Utsmaniyah tahun 1924. Maka menjadi kewajiban seluruh umat Islam di dunia ini
untuk mendirikan kembali Jama’atul Muslimin.
BAGIAN PERTAMA
Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin
I. UMAT
A. Umat Islam
Umat islam adalah setiap jama’ah yag disatukan oleh
sesuatu hal; satu agama, satu zaman, atau satu tempat, yaitu islam. Baik faktor
pemersatu itu dipaksakan ataupun berdasarkan atas pilihan/kerelaan.
Umat Islam tidak dibatasi oleh
batas geografis. Karena sesungguhnya seluruh yang ada dilangit
dan bumi ini hanyalah kepunyaan Allah SWT, sebagaimana yang Allah SWT
firmankan:
“Dan
kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi. dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).”
(An-Nur:42)
Dan
Allah SWT menyerahkan kekuasaan kerajaannya di bumi ini hanya kepada
orang-orang yang beriman. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi, ..” (An-Nur:55)
Jadi pada hakikatnya
seluruh bumi ini merupakan tanah air umat Islam, setiap pendudukan oleh orang
kafir merupakan perampasan secara tidak sah atas hak umat Islam.
Selain tidak dibatasi
geografis, yang juga harus kita pahami bahwa umat Islam bukanlah hanya umat
Muhammad saw. Melainkan mulai dari manusia pertama : Adam as dan Hawa as, sampai akhir zaman nanti.
Namun umat Islam dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum Muhammad saw
dan periode setelah Muhammad saw, serta dibagi dalam dua golongan, yaitu pertama, golongan yang menerima Islam secara menyeluruh
dan yang kedua, golongan
yang tidak mau menerima dan menyambut dakwah rasulullah dan masuk kedalam islam hanya
sebagian-sebagian saja.
B.
Karakteristik Umat Islam
1. Aqidah yang bersih dari segala kemusyrikan,
dan pengakuan terhadap keesaan Allah dalam uluhiyah dan Rububiyah, dan
nama-nama serta sifat-sifat-Nya (QS.ar-Ra’du : 36);
2. Aqidahnya yang bersifat komprehensif dan
menyeluruh (QS.al-An’am:162, al-Baqarah:208 );
3. Manhaj yang bersifat Rabbani secara murni
(QS.Al-Hijr:9);
4. Kesempurnaan manhajnya (QS.al-An’am:16,
an-Najm:3-4, an-Nahl:89, al-Haqqah: 44-46);
5. Prinsip pertengahan dan keadilan dalam segala
persoalan (QS.al-Baqarah:143).
C. Unsur Kesatuan Umat Islam
1. Kesatuan Aqidah;
2. Kesatuan ibadah (QS.adz-Dzariyat:56);
3. Kesatuan adat dan perilaku (QS.al-Ahzab:21);
4. Kesatuan
sejarah;
5. Kesatuan
bahasa;
6. Kesatuan
jalan (QS.al-Fatihah:6-7);
7. Kesatuan
dustur/sumber undang-undang yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah
(QS.an-Nisa’:65,al-An’am:162-163);
8. Kesatuan pimpinan.
II. SYURA (MUSYAWARAH)
A. Definisi Syura dan Urgensi Syuro
Syuro adalah mengeluarkan bebagai pendapat tentang suatu
masalah untuk dikaji dan diketahui berbagai aspeknya sehingga dapat dicapai
kebaikan dan dihindari kesalahan.
Prinsip syuro
merupakan bagian integral fitrah manusia sejak Allah menciptakannya. Sifat ini
nampak dengan jelas dalam gerak manusia, baik secara individu maupun kelompok.
Yaitu prinsip syuro dalam pembentukan manusia sebagai satu upaya mencapai
kemaslahatan dan menghindari bahaya. Disamping itu, syuro juga dapat memberi
kekuatan terhadap indiviu yang lemah, dan menambah pengalaman dan wawasan
mengenai berbagai persoalan.
Prinsip syuro sudah ada sejak awal tabiat manusia. Karena
itu sebagai agama yang menbersihkan tabiat manusia dan membinanya, islam
menetapkan dan menjadikan syuro sebagai tiang utama dalam bangunan umat dan
sifat utama setiap individu didalamnya. Syuro ini bersifat umum meliputi semua
urusan, tidak terbatas pada sistem pemerintahan saja; juga meliputi urusan kaum
muslimin.(QS.asy-Syuro:38, Ali Imran: 159).
Syuro merupakan masalah penting dan termasuk salah satu
kewajiban islam terbesar, yang menjadi syarat utama bagi tegaknya persoalan
umat islam karena syuro merupakan dasar utama dan sifat yang melekat pada tubuh
umat islam. tanpa syuro, umat islam akan kehilangan kemaslahatan dan
kelaikannya, seperti halnya jika umat islam meninggalkan zakat dan puasa.
Syuro ini disebutkan bersama kewajiban-kewajiban utama :
iman yang merupakan dasar keselamatan; tawakkal yang meliputi keyakinan yang
benar; menjauhi kekejian (istilah bagi setiap perkataan atau perbuatan yang
buruk); adab marah (setiap perilaku jiwa) karena Allah; shalat yang merupakan
dasar kebaikan bagi semua perbuatan manusia; infaq yang meliputi zakat yang
wajib dan shadaqoh sunnah. (QS.asy-Syura:36-39). Rasulullah menjadikan syuro
sebagai salah satu faktor penentu perjalanan umat untuk mencapai kedamaian dan
kebahagiaan hidup.
B. Hukum Syuro
Mengingat kedudukan syuro dalam Al-Quran dan As-Sunnah,
disamping peranannya yang amat besar dalam mewujudkan sistem pemerintahan,
memadukan masyarakat dan memudahkan urusan rakyat dengan tepat, maka para ulama
menegaskan bahwa hukum syuro adalah wajib bagi para pemimpin umat Islam di
setiap zaman dan tempat. Firman Allah SWT :
“ … Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu …” (Ali ‘Imran:
159)
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Sayyid Quthb berkata,
“ini adalah nash yang tegas yang tidak boleh diragukan lagi oleh umat islam,
bahwa syuro adalah dasar asasi bagi tegaknya sistem pemerintahan islam. islam
tidak boleh tegak kecuali diatas prinsip ini.”
Musyawarah dilaksanakan,
baik dalam masalah keagamaan maupun yang masuk dalam lingkup Iijtihad,
dalam masalah yang tidak ada nashnya, ataupun masalah-masalah duniawi. Dalam
poses pengambilan keputusan menggunakan prinsip mayoritas. Hal ini berdasarkan sunnah Nabi saw, nampak jelas bahwa
beliau senantiasa mengambil pendapat mayoritas, ketika terjadi perselisihan di
antara para anggota syuro. Seperti yang pernah Nabi saw katakan,
Dari Anas bin Malik ra ia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda : “umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan; maka jika kamu melihat
perselisihan, hendaklah kamu berpegang dengan kelompok yang terbanyak”
Namun tentu saja dengan catatan anggota syuro yang mayoritas ini merupakan
orang-orang yang sudah terbukti keikhlasan dan ketaqwaannya. Pendapat yang dikeluarkan bukan berdasarkan
hawa nafsu belaka, melainkan mengharapakan ridho Allah SWT dan kemashlahatan
umat.
C. Syarat-Syarat Anggota Syuro
1. Orang
yang paling banyak menguasai Al-Quran dan As-Sunnah
2. Terpelihara
akhlaknya
3. Bijak (taqwa,amanah, dan takut kepada Allah) dan
mampu mengingatkan serta meluruskan imam/amir
4. ‘Adalah (keadilan) yang meliputi: Islam, berakal,
merdeka, laki-laki, dam baligh
5. Mempunyai
ilmu dan keahlian dalam maslah yang dimusyawarahkan.
6. Cerdas
dan bijak dalam berpendapat
7. Jujur
dan amanah
III.
IMAMAH ‘UZHMA (KEPEMIMPINAN AGUNG)
Sejarah panjang kepemimpinan umat Islam dimuali
dari Nabi Adam as, kemudian anak keturunannya dari para Nabi, Rasul dan
pengikut-pengikutnya yang baik. Nabi Muhammad saw hadir sebagai penutup mata
rantai kenabian dan kerasulan yang mulia. Sepeninggal Nabi Muhammad saw, umat
Islam dipimpin oleh khalifah,dst, yang sebagaimana disebutkan Rasulullah saw.
“Dari Nu’man bin Basyir,
ia berkata : Kami duduk-duduk di Masjid Rasulullah saw, Basyir adalah seorang
yang tidak banyak bicara. Kemudian datang Abu Tsa’labah seraya berkata,
“Wahai Basyir bin Sa’d, apakah kamu hafal hadits Rasulullah saw tentang para
penguasa?” Maka Hudzaifah tampil seraya berkata, “Aku hafal khutbahnya.” Lalu
Abu Tsa’labah duduk mendengarkan Hudzaifah berkata: Rasulullah saw bersabda:
(1) Muncul kenabian ditengah-tengah kamu selam masa yang dikehendaki Allah,
kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya. (2) Kemudian akan muncul
khalifah sesuai dengan sistem kenabian selama masa yang dikehendaki Allah,
kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya. (3) Kemudian muncul
“raja yang menggigit” selama masa yang dikehendak Allah, kemudian Ia akan
mencabutnya ketika Ia menghendakinya. (4) Kemudian akan muncul “raja yang
diktator” selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya
ketiaka Ia menghendakinya. (5) kemudian akan muncul (lagi) khilafah sesuai
dengan sistem kenabian …”
Menurut para ulama, sekarang merupakan periode
keempat, yaitu periode “raja yang diktator”. Namun kita tidak tahu kapan Allah
akan mencabutnya, sehingga munculah kembali kekhalifaan uamt Islam.
A.
Definisi Imamah
Imam menurut bahasa dan Al-Qur’an ialah setiap
orang yang dianut oleh suatu kaum, baik mereka berada di jalan yang lurus
ataupun sesat. (QS.al-Furqan:74, al-Baqarah:124, al-Qashash:41, al-Isra’:71).
Imamah menurut para ahli tafsir ialah
kepemimpinan umum dalam agama dan dunia sebagai pengganti (khalifah) dari Nabi
saw, atau yang juga disebut Imamah kubra. Sedangkan
imam sholat, imam masalah hadits atau fiqih disebut imamah sughra.
Berdasarkan
ayat-ayat Al-Qur’an dan pendapat para ulama bahasa, tafsir, dan aqidah
tersebut, jelas semuanya sepakat bahwa imam adalah lafadz yang berarti
kepemimpinan tertinggi diantara mereka; keatas pundaknya diletakkan tanggung
jawab kebaikan mereka dalam agama dan dunia.
B. Hukum Mengangkat Imam
Hukum mengangkat imam adalah wajib dan bahwa umat pun
wajib tunduk kepada seorang imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah
dan Sunnah Rasul-Nya.(QS.an-Nisa’:59)
Dengan penetapan kaidah ini, maka menegakkan imamah
termasuk fardu kifayah, sebagaimana telah disebutkan oleh Abul Hasan
al-Mawardi,”appabila telah pasti wajibnya menegakkan imamah, maka kewajibannya
adalah wajib kifayah sebagaimana jihad. Yakni seluruh umat ditumtut untuk
menegakkannya. Jika umat telah menegakkannya, dengan diperintahnya umat ini
oleh seorang khalifah dan seluruh wilayah di dunia islam ini menjadi
negara-negara dan bangsa-bangsa yang
memberikan loyalitas kepada khalifah tersebut, maka imamah ‘uzhma yang merupakan
fardhu kifayah telah ditegakkan secara sempurna.
C. Syarat-Syarat Imam Atau Khalifah
(1)
‘Adalah (kesempurnaan secara
moral) berikut semua persyaratan
(2)
Ilmu yang dapat mengantarkan kepada ijtihad
dalam berbagai kasus dan hukum
(3)
Sehat Jasmani
(4)
Mempunyai pandangan yang bijak
(5)
Memiliki ketegasan dan keberanian
(6)
Keturunan Quraisy, namun untuk syarat yang ke
tujuh ini masih banyak perdebatan. Menurut Ibnu Hajar, orang Quraisy
diistimewakan dalam kepemimpinan karena keistiqomahan mereka kepada agama Allah
SWT. Namun apabila terdapat orang yang lebih mampu daripada orang Quraisy, maka
ia harus diutamakan ketimbang orang Quraisy. Karena sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah :
Dari Anas ra, ia berkata: bersabda Rasulullah
saw, “Dengarlah dan taatlah, sekalipun kamu dipimpin oleh seorang budak Habasyi
yang berambut seperti anggur kering.” (HR.Bukhari
Hal yang perlu kita ingat adalah, Allah akan menciptakan kepemimpian. Hal
ini agar orang-orang yang ingin mengembalikan khilafah kepada umat islam dapat
menuju kepada-Nya. Firman Allah :
“dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik.”
IV.
TUJUAN JAMA’ATUL MUSLMIN DAN SARANANYA
Struktur organisasi jama’atul muslimin terdiri atas satu
basis yaitu: umat, dan dua pilar, yaitu majelis syura dan khalifah. Adapun dua
bagian terpenting dari tujuan-tujuan jama’atul muslimin ialah: pertama, tujuan-tujuan
khusus bagi umat islam, kedua, tujuan-tujuan umum menyangkut semua
manusia.
A. Tujuan-Tujuan Khusus Bagi Umat Islam
(1)
Membina pribadi muslim dan mengembalikan kepribadian
islam
(2)
Membina
keluarga Islam dan mengembalikan karakteristik aslinya
(3)
Membina
masyarakat Islam yang akan mencerminkan da’wah dan perilaku Islam
(4)
Mempersatukan
umat Islam diseluruh penjuru dunia
B. Tujuan-Tujuan Umum Bagi Jama’atul Muslimin
(1) Agar manusia menyembah Rabb yang Mahasatu.
(QS.Adz-Dzariyat:56, An-Nahl:36, Fatir:24)
(2) Menjalankan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar.
(Ali Imran:110)
(3) Menyampaikan da’wah islam kepada semua
manusia.
(4) Menghapuskan fitnah dari seluruh dunia.
(QS.Al-Anfal:39)
(5) Menaklukan roma, ibu kota italia
(6) Memerangi semua manusia sehingga mereka
bersaksi dengan kesaksian yang benar
C. Beberapa Sarana Terpenting Jama’atul Muslimin
Dalam Mencapai Tujuannya
1.
Sarana Menuju Tujuan Khusus
a.
Wajib mengembalikan media massa, pengajaran,
ekonomi dan alat-alat negara lainnya kepada Islam
b.
Menghancurkan semua unsur kemunafikan dan
kefasikan di dalam umat
c.
Mempersiapkan umat Islam sebaik-baiknya
sehingga sesuai dengan tuntutan zaman.
2.
Sarana Menuju Tujuan Umum
a.
Menjelaskan prinsip-prinsip Islam kepada semua
manusia melalui berbagai media massa.
b.
Menuntut semua manusia agar masuk Islam.
c.
Menuntut semua negara tunduk kepada
ajaran-ajaran Islam.
d.
Mengumunkan jihad bersenjata dan terus menerus
sampai mencapai kemenangan.
D. Bidang Yang Menentukan Titik-titik Pergerakan
Yang menentukan titik-titik pergerakan antara sarana dan tujuan
dalam jama’ah ialah kenyataan yang menggariskan gerakan ini sendiri dari segi
positif dan negatif. Pun Yang menentukan masa-masa peralihan dari satu tujuan
ke tujuan lain ialah perjalanan gerakan tersebut sesuai dengan urutan ini,
disamping itu juga sesuai dengan data tentang persentase bertambah atau
berkurangnya keberhasilan. Ketika persiapan sudah maksimal dan matang, maka
yanag harus dilakukan olrh jama’atul muslimin dalam mewujudkan cita-citanya
adalah bergerak menghadapi musuh.
BAGIAN KEDUA
JALAN MENUJU JAMA’ATUL MUSLIMIN
I.
HUKUM ISLAM
1. Tidak Ada Parsialisi Dalam Hukum islam
Sejak da’wah Islam di bawah pimpinan Rasulullah saw mulai
digelar di Mekkah, turunlah pengarahan-pengarahan Rabbani secara bertahap
sesuai dengan keperluan jama’ah dan tuntutan yang dihadapi jama’ah. Sehingga
penerapannya pun dilakukan secara bertahap. Namun pada kondisi saat ini, dimana
pengarahan-pengarahan Rabbani dan Nabawiyah sudah turun secara sempurna,
penerapan bertahap ini tidak bisa dilaksanakan. Setiap muslim
dan jama’ah Islam dituntut melaksanakan seluruh pengarahan Rabbani dan sunnah
Nabawiyah secara utuh tanpa pengurangan.
Sesungguhnya bersikap toleran terhadap sistem-sistem
kafir dan tunduk kepadanya dengan cara melaksanakan sebagian ajaran yang memungkinkan pelaksanaanya dan
meninggalkan sebagian ajaran yang lain yang tidak memungkinkan pelaksanaanya
dengan dalih apapun, adalah suatu perbuatan yang sama halnya dengan beriman
kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadab sebagian yang lain. Adalah
perbuatan yang tercela, Pelakunya diancam oleh Allah dengan dilipat gandakan
siksanya didunia dan diakhirat, dan dikeluarkan dari keimanan dan islam.
(QS.al-Baqarah:85-86)
2. Penerapan dan Pembagian Hukum Islam
a. Penerapan
Penerapan
hukum Islam dapat disesuaikan dengan waktu dan kondisi, dengan syarat individu
atau jama’ah tersebut meyakini semua hukum Islam dan keberlangsungannya. Dan keimanan tersebut harus nampak melalui keterlibatan
secara aktif dalam hukum-hukum islam yang menjadi bagiannya.
b. Pembagian
Hukum
Islam dari segi hakikat dan caranya terbagi
dua, yaitu substansi hukum dan cara pelaksanaan hukum. Contoh: membaca
Al-Fatihah dalam shalat adalah substansi hukum, sedangkan cara membacanya
adalah cara pelaksanaan hukum. Hukum islam
dari segi pelakunya dibagi menjadi dua yaitu individu dan jama’ah sebagai
jama’ah dari umat islam.
II.
KESADARAN PARA RASUL DAN PENGIKUT-PENGIKUTNYA TERHADAP
LANGKAH INI
Rasulullah saw sejak masa-masa pertama diturunkannya
wahyu Ilahi menyadari bahwa tugas yang diserahknan kepadanya tidak mungkin
dapat dilakukan oleh satu orang manusia, tetapi memerlukan suatu jama’ah yang
kuat. Rasulullah saw mengetahui hal ini dari sejarah Nabi-Nabi sebelumnya,
dimana Nabi-Nabi yang diterima kaumnya dan dapat membentuk sebuah jama’ah lebih
kekal da’wahnya dan lembaran-lembaran ajarannya. Seperti Nabi Musa as dan Isa as, walaupun sudah
banyak dipalsukan, kitab dan ajaran mereka masih ada.
III.
KLASIFIKASI BERKAITAN DENGAN LANGKAH INI
1.
Kewajiban para Da’i di Negara yang terdapat
satu jama’ah
Dalam hal ini
para da’i wajib masuk ke dalam jama’ah tersebut, kemudian berusaha memperbaiki
kekurangannnya.
2.
Kewajiban para Da’i di Negara yang terdapat
beberapa jama’ah
Sikap yang
harus diambil para da’i adalah menimbang prinsip-prinsip dan pemikiran semua
jama’ah yang ada dengan neraca Islam yang hanif. Sehingga dapat diketahui
manakah jama’ah yang lebih dekat prinsip-prinsip dan pemikirannya dengan Islam.
Selanjutnya mereka bergabung didalamnya dan berusaha menyatukan seluruh jama’ah
yang ada.
3.
Kewajiban para Da’i di Negara yang belum
terdapat jama’ah
Para da’I
haruslah mendirikan jama’ah. Yang rambu-rambunya akan dibahas di bagian III
BAGIAN KETIGA
RAMBU-RAMBU SIRAH NABI SAW DALAM MENEGAKKAN
JAMA’AH
I.
MENYEBARKAN
PRINSIP-PRINSIP DA’WAH
A. Jalan Penyebaran
1.
Kontak pribadi (Ittisal Fardi)
Cara ini oleh para ahli sirah Rasulullah saw
disebut “tahapan sirriyah dalam da’wah”. Dalam tahap ini Rasulullah saw
mendatangi secara pribadi kerabat dan teman-teman dekatnya yang dapat dipercaya
untuk menjaga apa yang disampaikannya. Jalan ini perlu ditempuh
pada dua keadaan yaitu pada keadaan permulaan da’wah dalam penegakkannya, serta
pada saat pemerintahan yang berkuasa melarang da’wah secara terang-terangan.
2.
Kontak umum (Ittisal Jama’i)
Cara ini oleh para ahli sirah disebut “tahapan
da’wah terang-terangan”. Dalam tahap ini Rasulullah saw menggunakan beberapa
sarana, diantaranya:
(1) Mengumpulkan
manusia dalam suatu jamuan makan dirumahnya, kemudian menyampaikan
prinsip-prinsip da’wah kepada mereka.
(2) Mengumpulkan
manusia diberbagai tempat, contoh di bukit Shafa kemudian menyampaikan
risalah Allah kepada mereka
(3) Pergi
ketempat-tempat pertemuan manusia dan menyampaikan da’wah Allah kepada mereka
(4) Pergi ke
berbagai negara untuk menyampaikan da’wah
(5) Mengirim surat
kepada para kepala suku dan raja
B.
Aspek Penataan Dalam
Penyebaran Da’wah
1.
Hendaknya para da’i
menentukan prinsip-prinsip yang akan dimulai sesuai dengan skala prioritasnya.
2.
Membuat kesepakatan dengan
orang yang sudah menerima da’wah dan menyetujui prinsip yang sudah ditentukan.
II.
PEMBENTUKAN DA’WAH
Pembentukan (takwin) merupakan tindak lanjut dari rambu
pertama baik dalam kontak pribadi maupun jama’i. Rambu kedua ini merupakan
penyempurna dan penyambung rambu pertama. Karena itu, orang-orang yang berhenti
pada rambu pertama dan tidak mau beralih pada rambu kedua adalah orang-orang
yang berda’wah tidak sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sasaran pada rambu
kedua ini ialah mengubah akal yang jahiliyah kepada ilmu, hikmah dan ma’rifah,
dan mengubah moral dan perilakunya dari kesesatan kepada kesucian.
A.
Sisi Penataan
(1) Takwin dalam
tahapan sirriyah
Takwin dalam keadaan ini Rasulullah saw membagi
orang-orang yang telah menerima da’wahnya dalam beberapa kelompok kecil.
(2) Takwin dalam
tahapan ‘alaniyah
Dalam tahapan ini takwin yang dilakukan
Rasulullah antara lain
·
Membuat beberapa halaqah besar
·
Mengadakan perjalanan (rihlah) jama’iyah
tertentu, dalam hal ini hijrah ke Habasya dan Madinah
·
Mengkondisikan situasi umum terhadap da’wah
melalui khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah umum.
(3)
Takwin dalam keadaan keduanya
·
Dilakukan secara terang-terangan oleh
tokoh-tokoh Quraisy, seperti Abu Bakar ra.
·
Dilakukan secara sirriyah oleh kelompok kaum
muslimin yang lemah dan tidak memiliki dukungan kekuatan.
III.
KONFRONTASI BERSENJATA TERHADAP MUSUH DA’WAH
A.
Momentum Konforntasi
Penentuan titik tolak konforntasi sepenuhnya
wewenang pimpinan tertinggi jama’ah. Dan untuk mementukan titik tolak
konfrontasi itu ada beberapa pengarahan
1.
Independensi tempat
Jama’ah tersebut harus berkuasa penuh terhadap
bumi tempat berpijak dan melancarkan aktifitasnya. Dalam hal ini jama’ah harus
mengusai ekonomi, keamanan jalur komunikasi dan sarana pertahanan yang memadai.
Selain itu jama’ah harus mempunyai basis geografis yang jelas. Ini penting
sebagai pusat pertahanan dan pusat pembinaan.
2.
Jumlah yang memadai
Maksudnya anggota jama’ah hendaknya mencapai
jumlah atau persentasi tertentu dibandingkan kekuatan musuh.
IV.
SIRRIYAH DALAM KERJA MEMBINA JAMA’AH
Maksud sirriyah dalam kerja membina jama’ah
ialah membatasi pengetahuan program kerja pada lingkungan pimpimnan. Setiap
individu dalam kerja sirri ini tidak boleh mengetahui tugas anggota yang lain,
tetapi harus mengetahui tugas pribadinya.
Sirriyah adalah suatu prinsip yang sangat
penting dalam gerakan pembinaan jama’ah, terutama pada tahap-tahap pertama, agar
tidak diberangus dalam usia dini. Sirriyah hanya pada penataan (tanzhim) saja,
bukan menyangkut pemikiran atau nilai-nilai Islam yang dikemukakan.
V.
BERSABAR ATAS GANGGUAN MUSUH
Sikap sabar ini tercermin dalam seluruh
keadaan umat Islam di Mekkah sebelum hijrah. Tidak ada satupun keadaan da’wah
Islam di Mekkah pada tahapan tersebut kecuali menampakkan sifat kesabaran umat
Islam. Kita dapat melihat kesabaran mereka atas penghinaan dan provokasi,
kendati sebagian anggota jama’ah mempunyai kemampuan untuk melawan. Namun umat
Islam tetap diperintahkan untuk menahan diri.
VI.
MENGHINDARI MEDAN PETEMPURAN
Sesungguhnya fikrah
menjauhkan kaum Muslimin dari konfrontasi merupakan taufiq (petunjuk) Allah SWT
kepada Rasul-Nya. Menjauhi konfrontasi pada tahap takwin adalah sikap yang
diwajibkan Islam dan dituntut oleh jama’ah pada tahapan masih awal, karena ini
juga merupakan upaya perlindungan bagi pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT.
Salah satu bentuk menghindari konfrontasi ini
adalah hijrahnya umat Islam ke Habasyah dan Madinah. Walaupun orang melihat
sebagai bentuk ketidakberdayaan umat Islam ketika itu, namun ini sesungguhnya
taktik yang sangat jitu. Mengingat beberapa tahun kemudian umat Islam kembali
ke Mekkah dalam rangka penaklukan.
BAGIAN KEEMPAT
TABIAT JALAN MENUJU JAMA’ATUL MUSLIMIN
Tabiat ini telah banyak dibicarakan dalam
Al-Quran, dapat disimpulkan menjadi dua ketegori: kebaikan dan keburukan,
antara lain.
1.
Penganiayaan dari kebathilan dan para pelaku
kebatilan, kemudian dia tidak mendapatkan penolong yang membela dan
mendukungnya
2.
Fitnah yang menimpa keluarga dan orang-orang
yang dicintai lantaran dirinya, sementara itu dia tidak mampu membela mereka,
padahal mereka memintanya berdamai dan menyerah demi cinta dan keselamatan
keluarga
3.
Pemihakan dunia kepada orang-orang yang menolak
kebenaran, dan anggapan manusia bahwa mereka adalah orang-orang yang sukses
sehingga mendapatkan perhatian masyarakat. Sementara itu, orang yang beriman
terabaikan dan tak seorangpun mau membelanya
4.
Keasingan di tengah lingkungan karena aqidah,
sehingga bila ia memandang orang dan masyarakat sekitarnya, terlihatlah mereka
sedang tenggelam dalam lembah kesesatan
5.
Ia mendapati bangsa-bangsa dan negara-negara di
dunia ini tenggelam dalam kenistaan, tetapi mereka maju dan berperadaban modern,
bahkan memiliki kekuatan dan kekayaan yang digunakan untuk memusuhi Allah dan
agama-Nya
6.
Fitnah popularitas dan daya tarik kehidupan
dunia. Ini merupakan bencana besar karena justru mendapatkan dukungan fitrah
dan tabiat kemanusiaannya
7.
Fitnah lambatnya kemenangan dan panjangnya
perjalanan
8.
Fitnah kebanggaan diri dan penyandaran segala
sesatu kepada dirinya setelah tercapai kemenangan.
Tabiat jalan ini mempuyai
sasaran tertentu, yaitu untuk mengtahui yang shalih dari yang thalih, dan
membuang yang jelek dari yang baik, serta membersihkan barisan dari unsur-unsur
yang akan mengakibatkan kehancuran.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus