CERMIN
Oleh : Muhammad
Nuh
Tak ada alat
yang lebih tepat untuk melihat diri sendiri apa adanya kecuali cermin.
Disitulah wajah diri terpampang jelas. Jujur, apa adanya. Cermin tak pernah
dusta pada siapapun. Ia akan mengatakan buruk kalau objeknya memang buruk. Dan
bagus jika kenyataannya memang demikian.
Selain
jujur, cermin juga berani. Ia siap menanggung risiko apapun karena
kejujurannya. Walau yang berkaca tergolong yang paling berkuasa sekalipun. Ia
akan bicara apa adanya. Ia siap kalau sewaktu-waktu sang objek merasa tidak
puas: membencinya, menghina, bahkan membantingnya tanpa kenal ampun.
Cermin
juga tidak perbah terbuai dengan pujian. Tidak karena sebab pujian
terus-menerus dari objek yang memang bagus, ia kemudian terlena. Cermin sadar
kalau ia Cuma alat. Pujian yang tampak ditujukan padanya, sebenarnya buat objek
itu sendiri. Ia Cuma saksi dari sebuah kebahagiaan dan kesyukuran.
Kadang,
cermin menjadi teman setia dari sebuah kesedihan. Ia dengarkan segala curhat
dan isak tangis objek dihadapanya. Tanpa bosan, tanpa keluh kesah. Seolah, ia
sedang menumbukan harap dan kesembuhan dari luka hati sahabat dihadapannya.
Lagi-lagi ia tak peduli siapa: objek setianya, atau seseorang yang baru ia
kenal. Saat itu, cermin seperti sedang
berbisik lembut, “tumpahkan semua kesedihanmu. Aku penjaga rahasia yang paling
terpercaya.”
Memang
ada sebagian cermin yang tidak objektif. Tapi itu bukan karakter aslinya.
Karena kurang bersih, atau rekayasa teknologi, cermin bisa mengada-ada. Itulah
sebabnya ketika seseorang mendapati dirinya dalam cermin dengan tampilan yang
tidak memuaskan, ia langsung membersihkan wajah cermin. Mungkin karena debu,
noda atau lainnya. Upaya itu dilakukan terlebih dahulu sebelum sang objek
membersihkan wajahnya sendiri. Dan cermin tak pernah protes itu. Ia tak pernah
bilang pada sang objek, “enak aja. Kamu yang kotor. Bukan saya!” cermin
senantiasa berlapang dada untuk dipersalahkan.
***
Saudaraku,
baginda Rasulullah SAW. Pernah mengatakan bahwa seorang mukmin adalah cermin
bagi sudaranya. Dua saudara yang saling bersilaturahim adalah sebenarnya sedang
saling bercermin. Dari wajah saudaranyalah ia menemukan kesadaran akan
bintik-bintik noda diri sendiri. Disitu pula, ia mendapatkan harap, kesyukuran,
dan kebahagiaan.
Akhirnya,
semua berpulang pada diri kita masing-masing. Mampukah kita menjadi cermin
seutuhnya. Atau, cermin buram yang hanya menampakkan wajah keraguan dan
keputusasaan.
*Sumber : Majalah SAKSI
NO.12/TAHUN VI/14 APRIL 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar