Jumat, 20 Januari 2017

CERMIN DIRI




CERMIN
Oleh : Muhammad Nuh
Tak ada alat yang lebih tepat untuk melihat diri sendiri apa adanya kecuali cermin. Disitulah wajah diri terpampang jelas. Jujur, apa adanya. Cermin tak pernah dusta pada siapapun. Ia akan mengatakan buruk kalau objeknya memang buruk. Dan bagus jika kenyataannya memang demikian.
            Selain jujur, cermin juga berani. Ia siap menanggung risiko apapun karena kejujurannya. Walau yang berkaca tergolong yang paling berkuasa sekalipun. Ia akan bicara apa adanya. Ia siap kalau sewaktu-waktu sang objek merasa tidak puas: membencinya, menghina, bahkan membantingnya tanpa kenal ampun.
            Cermin juga tidak perbah terbuai dengan pujian. Tidak karena sebab pujian terus-menerus dari objek yang memang bagus, ia kemudian terlena. Cermin sadar kalau ia Cuma alat. Pujian yang tampak ditujukan padanya, sebenarnya buat objek itu sendiri. Ia Cuma saksi dari sebuah kebahagiaan dan kesyukuran.
            Kadang, cermin menjadi teman setia dari sebuah kesedihan. Ia dengarkan segala curhat dan isak tangis objek dihadapanya. Tanpa bosan, tanpa keluh kesah. Seolah, ia sedang menumbukan harap dan kesembuhan dari luka hati sahabat dihadapannya. Lagi-lagi ia tak peduli siapa: objek setianya, atau seseorang yang baru ia kenal. Saat itu, cermin  seperti sedang berbisik lembut, “tumpahkan semua kesedihanmu. Aku penjaga rahasia yang paling terpercaya.”
            Memang ada sebagian cermin yang tidak objektif. Tapi itu bukan karakter aslinya. Karena kurang bersih, atau rekayasa teknologi, cermin bisa mengada-ada. Itulah sebabnya ketika seseorang mendapati dirinya dalam cermin dengan tampilan yang tidak memuaskan, ia langsung membersihkan wajah cermin. Mungkin karena debu, noda atau lainnya. Upaya itu dilakukan terlebih dahulu sebelum sang objek membersihkan wajahnya sendiri. Dan cermin tak pernah protes itu. Ia tak pernah bilang pada sang objek, “enak aja. Kamu yang kotor. Bukan saya!” cermin senantiasa berlapang dada untuk dipersalahkan.
***
            Saudaraku, baginda Rasulullah SAW. Pernah mengatakan bahwa seorang mukmin adalah cermin bagi sudaranya. Dua saudara yang saling bersilaturahim adalah sebenarnya sedang saling bercermin. Dari wajah saudaranyalah ia menemukan kesadaran akan bintik-bintik noda diri sendiri. Disitu pula, ia mendapatkan harap, kesyukuran, dan kebahagiaan.
            Akhirnya, semua berpulang pada diri kita masing-masing. Mampukah kita menjadi cermin seutuhnya. Atau, cermin buram yang hanya menampakkan wajah keraguan dan keputusasaan.

*Sumber : Majalah SAKSI NO.12/TAHUN VI/14 APRIL 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KITA

Kita begitu Romantis.. Bahkan bisa jadi lebih romantis dari mereka yangg terlihat Romantis.. Duhai cinta, Sering Ku bisikkan namamu ke b...