Minggu, 08 Januari 2017

RESUME BUKU MENUJU JAMA'ATUL MUSLIMIN


RESUME BUKU MENUJU JAMA’ATUL MUSLIMIN
(TELAAH SISTEM JAMAAH DALAM GERAKAN ISLAM)

OLEH :
FATIH RUKHAMA



Judul Asli : Ath-Thariqq Ila Jama’atil Muslimin
Penulis Buku : Hussain Bin Muhammad Bin Ali Jabir,M.A.
Penerbit : Daarul Wafa’, Kairo
Penerjemah : Aunur Rafiq Shaleh Tamhid,Lc


“Tidak Ada Islam Melainkan Dengan Jamaah, Tidak Ada Jamaah Kecuali Dengan Imamah (Kepemimpinan) Dan Tidak Ada Kepemimpinan Kecuali Dengan Ketaatan.”
-UMAR BIN KHATHTHAB R.A-



PENDAHULUAN
Pengertian Jama’ah Menurut Bahasa di dalam al-mu’jam al-wasith, jamaah diartikan dengan : sejumlah besar manusia, atau sekelompok manusia yang berhimpun untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut syari’at, Jama’ah adalah bagian dari Jama’atul Muslimin, sedangkan Jama’atul Muslimin sendiri adalah masyarakat umum dari penganut Islam apabila bersepakat untuk memilih seorang amir diantara mereka dan bersepakat terhadap suatu perkara.
Jama’atul Muslimin mempunyai kedudukan yang mulia dalam syari’at Islam. Selain itu, Jama’atul Muslimin merupakan sesuatu yang wajib ditegakkan dalam kehidupan umat. Karena Ia merupakan ikatan yang kokoh yang bila ia hancur maka akan hancur pula ikatan-ikatan Islam lainnya.
Pada kehidupan dewasa ini Jama’atul Muslimin sudah tidak berdiri. Jama’atul Muslimin telah menghilang seiring dengan dibubarkannya Khilafah Utsmaniyah tahun 1924. Maka menjadi kewajiban seluruh umat Islam di dunia ini untuk mendirikan kembali Jama’atul Muslimin.


BAGIAN PERTAMA
Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin

              I.     UMAT
A.    Umat Islam
Umat islam adalah setiap jama’ah yag disatukan oleh sesuatu hal; satu agama, satu zaman, atau satu tempat, yaitu islam. Baik faktor pemersatu itu dipaksakan ataupun berdasarkan atas pilihan/kerelaan.
Umat Islam tidak dibatasi oleh batas geografis. Karena sesungguhnya seluruh yang ada dilangit dan bumi ini hanyalah kepunyaan Allah SWT, sebagaimana yang Allah SWT firmankan:
Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi. dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk). (An-Nur:42)
Dan Allah SWT menyerahkan kekuasaan kerajaannya di bumi ini hanya kepada orang-orang yang beriman. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, ..” (An-Nur:55)
Jadi pada hakikatnya seluruh bumi ini merupakan tanah air umat Islam, setiap pendudukan oleh orang kafir merupakan perampasan secara tidak sah atas hak umat Islam.
Selain tidak dibatasi geografis, yang juga harus kita pahami bahwa umat Islam bukanlah hanya umat Muhammad saw. Melainkan mulai dari manusia pertama : Adam as dan Hawa as, sampai akhir zaman nanti. Namun umat Islam dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum Muhammad saw dan periode setelah Muhammad saw, serta dibagi dalam dua golongan, yaitu pertama, golongan yang menerima Islam secara menyeluruh dan yang kedua, golongan yang tidak mau menerima dan menyambut dakwah rasulullah  dan masuk kedalam islam hanya sebagian-sebagian saja.
B.     Karakteristik Umat Islam
1.      Aqidah yang bersih dari segala kemusyrikan, dan pengakuan terhadap keesaan Allah dalam uluhiyah dan Rububiyah, dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya (QS.ar-Ra’du : 36);
2.      Aqidahnya yang bersifat komprehensif dan menyeluruh (QS.al-An’am:162, al-Baqarah:208 );
3.      Manhaj yang bersifat Rabbani secara murni (QS.Al-Hijr:9);
4.      Kesempurnaan manhajnya (QS.al-An’am:16, an-Najm:3-4, an-Nahl:89, al-Haqqah: 44-46);
5.      Prinsip pertengahan dan keadilan dalam segala persoalan (QS.al-Baqarah:143).

C.    Unsur Kesatuan Umat Islam
1.      Kesatuan Aqidah;
2.      Kesatuan ibadah (QS.adz-Dzariyat:56);
3.      Kesatuan adat dan perilaku (QS.al-Ahzab:21);
4.       Kesatuan sejarah;
5.       Kesatuan bahasa;
6.       Kesatuan jalan (QS.al-Fatihah:6-7);
7.       Kesatuan dustur/sumber undang-undang yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah (QS.an-Nisa’:65,al-An’am:162-163);
8.       Kesatuan pimpinan.

           II.     SYURA (MUSYAWARAH)
A.    Definisi Syura dan Urgensi Syuro
Syuro adalah mengeluarkan bebagai pendapat tentang suatu masalah untuk dikaji dan diketahui berbagai aspeknya sehingga dapat dicapai kebaikan dan dihindari kesalahan.
 Prinsip syuro merupakan bagian integral fitrah manusia sejak Allah menciptakannya. Sifat ini nampak dengan jelas dalam gerak manusia, baik secara individu maupun kelompok. Yaitu prinsip syuro dalam pembentukan manusia sebagai satu upaya mencapai kemaslahatan dan menghindari bahaya. Disamping itu, syuro juga dapat memberi kekuatan terhadap indiviu yang lemah, dan menambah pengalaman dan wawasan mengenai berbagai persoalan.
Prinsip syuro sudah ada sejak awal tabiat manusia. Karena itu sebagai agama yang menbersihkan tabiat manusia dan membinanya, islam menetapkan dan menjadikan syuro sebagai tiang utama dalam bangunan umat dan sifat utama setiap individu didalamnya. Syuro ini bersifat umum meliputi semua urusan, tidak terbatas pada sistem pemerintahan saja; juga meliputi urusan kaum muslimin.(QS.asy-Syuro:38, Ali Imran: 159).
Syuro merupakan masalah penting dan termasuk salah satu kewajiban islam terbesar, yang menjadi syarat utama bagi tegaknya persoalan umat islam karena syuro merupakan dasar utama dan sifat yang melekat pada tubuh umat islam. tanpa syuro, umat islam akan kehilangan kemaslahatan dan kelaikannya, seperti halnya jika umat islam meninggalkan zakat dan puasa.
Syuro ini disebutkan bersama kewajiban-kewajiban utama : iman yang merupakan dasar keselamatan; tawakkal yang meliputi keyakinan yang benar; menjauhi kekejian (istilah bagi setiap perkataan atau perbuatan yang buruk); adab marah (setiap perilaku jiwa) karena Allah; shalat yang merupakan dasar kebaikan bagi semua perbuatan manusia; infaq yang meliputi zakat yang wajib dan shadaqoh sunnah. (QS.asy-Syura:36-39). Rasulullah menjadikan syuro sebagai salah satu faktor penentu perjalanan umat untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan hidup.

B.     Hukum Syuro
Mengingat kedudukan syuro dalam Al-Quran dan As-Sunnah, disamping peranannya yang amat besar dalam mewujudkan sistem pemerintahan, memadukan masyarakat dan memudahkan urusan rakyat dengan tepat, maka para ulama menegaskan bahwa hukum syuro adalah wajib bagi para pemimpin umat Islam di setiap zaman dan tempat. Firman Allah SWT :
“ … Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu …” (Ali ‘Imran: 159)
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Sayyid Quthb berkata, “ini adalah nash yang tegas yang tidak boleh diragukan lagi oleh umat islam, bahwa syuro adalah dasar asasi bagi tegaknya sistem pemerintahan islam. islam tidak boleh tegak kecuali diatas prinsip ini.”
Musyawarah dilaksanakan, baik dalam masalah keagamaan maupun yang masuk dalam lingkup Iijtihad, dalam masalah yang tidak ada nashnya, ataupun masalah-masalah duniawi. Dalam poses pengambilan keputusan menggunakan prinsip mayoritas. Hal ini berdasarkan sunnah Nabi saw, nampak jelas bahwa beliau senantiasa mengambil pendapat mayoritas, ketika terjadi perselisihan di antara para anggota syuro. Seperti yang pernah Nabi saw katakan,
Dari Anas bin Malik ra ia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan; maka jika kamu melihat perselisihan, hendaklah kamu berpegang dengan kelompok yang terbanyak”
Namun tentu saja dengan catatan anggota syuro yang mayoritas ini merupakan orang-orang yang sudah terbukti keikhlasan dan ketaqwaannya. Pendapat yang dikeluarkan bukan berdasarkan hawa nafsu belaka, melainkan mengharapakan ridho Allah SWT dan kemashlahatan umat.

C.    Syarat-Syarat Anggota Syuro
1.      Orang yang paling banyak menguasai Al-Quran dan As-Sunnah
2.      Terpelihara akhlaknya
3.      Bijak (taqwa,amanah, dan takut kepada Allah) dan mampu mengingatkan serta meluruskan imam/amir
4.      ‘Adalah (keadilan) yang meliputi: Islam, berakal, merdeka, laki-laki, dam baligh
5.      Mempunyai ilmu dan keahlian dalam maslah yang dimusyawarahkan.
6.      Cerdas dan bijak dalam berpendapat
7.      Jujur dan amanah



             III.            IMAMAH ‘UZHMA (KEPEMIMPINAN AGUNG)
Sejarah panjang kepemimpinan umat Islam dimuali dari Nabi Adam as, kemudian anak keturunannya dari para Nabi, Rasul dan pengikut-pengikutnya yang baik. Nabi Muhammad saw hadir sebagai penutup mata rantai kenabian dan kerasulan yang mulia. Sepeninggal Nabi Muhammad saw, umat Islam dipimpin oleh khalifah,dst, yang sebagaimana disebutkan Rasulullah saw.
“Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata : Kami duduk-duduk di Masjid Rasulullah saw, Basyir adalah seorang yang tidak banyak bicara. Kemudian datang Abu Tsa’labah seraya berkata, “Wahai Basyir bin Sa’d, apakah kamu hafal hadits Rasulullah saw tentang para penguasa?” Maka Hudzaifah tampil seraya berkata, “Aku hafal khutbahnya.” Lalu Abu Tsa’labah duduk mendengarkan Hudzaifah berkata: Rasulullah saw bersabda: (1) Muncul kenabian ditengah-tengah kamu selam masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya. (2) Kemudian akan muncul khalifah sesuai dengan sistem kenabian selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya. (3) Kemudian muncul “raja yang menggigit” selama masa yang dikehendak Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya. (4) Kemudian akan muncul “raja yang diktator” selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketiaka Ia menghendakinya. (5) kemudian akan muncul (lagi) khilafah sesuai dengan sistem kenabian …”
Menurut para ulama, sekarang merupakan periode keempat, yaitu periode “raja yang diktator”. Namun kita tidak tahu kapan Allah akan mencabutnya, sehingga munculah kembali kekhalifaan uamt Islam.
A.    Definisi Imamah
Imam menurut bahasa dan Al-Qur’an ialah setiap orang yang dianut oleh suatu kaum, baik mereka berada di jalan yang lurus ataupun sesat. (QS.al-Furqan:74, al-Baqarah:124, al-Qashash:41, al-Isra’:71).
Imamah menurut para ahli tafsir ialah kepemimpinan umum dalam agama dan dunia sebagai pengganti (khalifah) dari Nabi saw, atau yang juga disebut Imamah kubra. Sedangkan imam sholat, imam masalah hadits atau fiqih disebut imamah sughra.
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan pendapat para ulama bahasa, tafsir, dan aqidah tersebut, jelas semuanya sepakat bahwa imam adalah lafadz yang berarti kepemimpinan tertinggi diantara mereka; keatas pundaknya diletakkan tanggung jawab kebaikan mereka dalam agama dan dunia.
B.     Hukum Mengangkat Imam
Hukum mengangkat imam adalah wajib dan bahwa umat pun wajib tunduk kepada seorang imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.(QS.an-Nisa’:59)
Dengan penetapan kaidah ini, maka menegakkan imamah termasuk fardu kifayah, sebagaimana telah disebutkan oleh Abul Hasan al-Mawardi,”appabila telah pasti wajibnya menegakkan imamah, maka kewajibannya adalah wajib kifayah sebagaimana jihad. Yakni seluruh umat ditumtut untuk menegakkannya. Jika umat telah menegakkannya, dengan diperintahnya umat ini oleh seorang khalifah dan seluruh wilayah di dunia islam ini menjadi negara-negara dan bangsa-bangsa yang  memberikan loyalitas kepada khalifah tersebut, maka imamah ‘uzhma yang merupakan fardhu kifayah telah ditegakkan secara sempurna.
C.    Syarat-Syarat Imam Atau Khalifah
(1)   ‘Adalah (kesempurnaan secara moral) berikut semua persyaratan
(2)   Ilmu yang dapat mengantarkan kepada ijtihad dalam berbagai kasus dan hukum
(3)   Sehat Jasmani
(4)   Mempunyai pandangan yang bijak
(5)   Memiliki ketegasan dan keberanian
(6)   Keturunan Quraisy, namun untuk syarat yang ke tujuh ini masih banyak perdebatan. Menurut Ibnu Hajar, orang Quraisy diistimewakan dalam kepemimpinan karena keistiqomahan mereka kepada agama Allah SWT. Namun apabila terdapat orang yang lebih mampu daripada orang Quraisy, maka ia harus diutamakan ketimbang orang Quraisy. Karena sebagaimana yang disabdakan Rasulullah :
Dari Anas ra, ia berkata: bersabda Rasulullah saw, “Dengarlah dan taatlah, sekalipun kamu dipimpin oleh seorang budak Habasyi yang berambut seperti anggur kering.” (HR.Bukhari
Hal yang perlu kita ingat adalah, Allah akan menciptakan kepemimpian. Hal ini agar orang-orang yang ingin mengembalikan khilafah kepada umat islam dapat menuju kepada-Nya. Firman Allah :  
“dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

             IV.            TUJUAN JAMA’ATUL MUSLMIN DAN SARANANYA
Struktur organisasi jama’atul muslimin terdiri atas satu basis yaitu: umat, dan dua pilar, yaitu majelis syura dan khalifah. Adapun dua bagian terpenting dari tujuan-tujuan jama’atul muslimin ialah: pertama, tujuan-tujuan khusus bagi umat islam, kedua, tujuan-tujuan umum menyangkut semua manusia.
A.    Tujuan-Tujuan Khusus Bagi Umat Islam
(1)   Membina pribadi muslim dan mengembalikan kepribadian islam
(2)   Membina keluarga Islam dan mengembalikan karakteristik aslinya
(3)   Membina masyarakat Islam yang akan mencerminkan dawah dan perilaku Islam
(4)   Mempersatukan umat Islam diseluruh penjuru dunia

B.     Tujuan-Tujuan Umum Bagi Jama’atul Muslimin
(1)   Agar manusia menyembah Rabb yang Mahasatu. (QS.Adz-Dzariyat:56, An-Nahl:36, Fatir:24)
(2)   Menjalankan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar. (Ali Imran:110)
(3)   Menyampaikan da’wah islam kepada semua manusia.
(4)   Menghapuskan fitnah dari seluruh dunia. (QS.Al-Anfal:39)
(5)   Menaklukan roma, ibu kota italia
(6)   Memerangi semua manusia sehingga mereka bersaksi dengan kesaksian yang benar
C.    Beberapa Sarana Terpenting Jama’atul Muslimin Dalam Mencapai Tujuannya
1.      Sarana Menuju Tujuan Khusus
a.       Wajib mengembalikan media massa, pengajaran, ekonomi dan alat-alat negara lainnya kepada Islam
b.      Menghancurkan semua unsur kemunafikan dan kefasikan di dalam umat
c.       Mempersiapkan umat Islam sebaik-baiknya sehingga sesuai dengan tuntutan zaman.
2.      Sarana Menuju Tujuan Umum
a.       Menjelaskan prinsip-prinsip Islam kepada semua manusia melalui berbagai media massa.
b.      Menuntut semua manusia agar masuk Islam.
c.       Menuntut semua negara tunduk kepada ajaran-ajaran Islam.
d.      Mengumunkan jihad bersenjata dan terus menerus sampai mencapai kemenangan.
D.    Bidang Yang Menentukan Titik-titik Pergerakan
Yang menentukan titik-titik pergerakan antara sarana dan tujuan dalam jama’ah ialah kenyataan yang menggariskan gerakan ini sendiri dari segi positif dan negatif. Pun Yang menentukan masa-masa peralihan dari satu tujuan ke tujuan lain ialah perjalanan gerakan tersebut sesuai dengan urutan ini, disamping itu juga sesuai dengan data tentang persentase bertambah atau berkurangnya keberhasilan. Ketika persiapan sudah maksimal dan matang, maka yanag harus dilakukan olrh jama’atul muslimin dalam mewujudkan cita-citanya adalah bergerak menghadapi musuh.
BAGIAN KEDUA
JALAN MENUJU JAMA’ATUL MUSLIMIN
       I.            HUKUM ISLAM
1.      Tidak Ada Parsialisi Dalam Hukum islam
Sejak da’wah Islam di bawah pimpinan Rasulullah saw mulai digelar di Mekkah, turunlah pengarahan-pengarahan Rabbani secara bertahap sesuai dengan keperluan jama’ah dan tuntutan yang dihadapi jama’ah. Sehingga penerapannya pun dilakukan secara bertahap. Namun pada kondisi saat ini, dimana pengarahan-pengarahan Rabbani dan Nabawiyah sudah turun secara sempurna, penerapan bertahap ini tidak bisa dilaksanakan. Setiap muslim dan jama’ah Islam dituntut melaksanakan seluruh pengarahan Rabbani dan sunnah Nabawiyah secara utuh tanpa pengurangan.
Sesungguhnya bersikap toleran terhadap sistem-sistem kafir dan tunduk kepadanya dengan cara melaksanakan sebagian  ajaran yang memungkinkan pelaksanaanya dan meninggalkan sebagian ajaran yang lain yang tidak memungkinkan pelaksanaanya dengan dalih apapun, adalah suatu perbuatan yang sama halnya dengan beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadab sebagian yang lain. Adalah perbuatan yang tercela, Pelakunya diancam oleh Allah dengan dilipat gandakan siksanya didunia dan diakhirat, dan dikeluarkan dari keimanan dan islam. (QS.al-Baqarah:85-86)
2.      Penerapan dan Pembagian Hukum Islam
a.      Penerapan
Penerapan hukum Islam dapat disesuaikan dengan waktu dan kondisi, dengan syarat individu atau jama’ah tersebut meyakini semua hukum Islam dan keberlangsungannya. Dan keimanan tersebut harus nampak melalui keterlibatan secara aktif dalam hukum-hukum islam yang menjadi bagiannya.
b.      Pembagian

Hukum Islam dari segi hakikat dan caranya terbagi dua, yaitu substansi hukum dan cara pelaksanaan hukum. Contoh: membaca Al-Fatihah dalam shalat adalah substansi hukum, sedangkan cara membacanya adalah cara pelaksanaan hukum. Hukum islam dari segi pelakunya dibagi menjadi dua yaitu individu dan jama’ah sebagai jama’ah dari umat islam.
    II.            KESADARAN PARA RASUL DAN PENGIKUT-PENGIKUTNYA TERHADAP LANGKAH INI
Rasulullah saw sejak masa-masa pertama diturunkannya wahyu Ilahi menyadari bahwa tugas yang diserahknan kepadanya tidak mungkin dapat dilakukan oleh satu orang manusia, tetapi memerlukan suatu jama’ah yang kuat. Rasulullah saw mengetahui hal ini dari sejarah Nabi-Nabi sebelumnya, dimana Nabi-Nabi yang diterima kaumnya dan dapat membentuk sebuah jama’ah lebih kekal da’wahnya dan lembaran-lembaran ajarannya. Seperti Nabi Musa as dan Isa as, walaupun sudah banyak dipalsukan, kitab dan ajaran mereka masih ada.
 III.            KLASIFIKASI BERKAITAN DENGAN LANGKAH INI
1.      Kewajiban para Da’i di Negara yang terdapat satu jama’ah
Dalam hal ini para da’i wajib masuk ke dalam jama’ah tersebut, kemudian berusaha memperbaiki kekurangannnya.
2.      Kewajiban para Da’i di Negara yang terdapat beberapa jama’ah
Sikap yang harus diambil para da’i adalah menimbang prinsip-prinsip dan pemikiran semua jama’ah yang ada dengan neraca Islam yang hanif. Sehingga dapat diketahui manakah jama’ah yang lebih dekat prinsip-prinsip dan pemikirannya dengan Islam. Selanjutnya mereka bergabung didalamnya dan berusaha menyatukan seluruh jama’ah yang ada.
3.      Kewajiban para Da’i di Negara yang belum terdapat jama’ah
Para da’I haruslah mendirikan jama’ah. Yang rambu-rambunya akan dibahas di bagian III

BAGIAN KETIGA
RAMBU-RAMBU SIRAH NABI SAW DALAM MENEGAKKAN JAMA’AH

       I.            MENYEBARKAN PRINSIP-PRINSIP DA’WAH
A.    Jalan Penyebaran
1.      Kontak pribadi (Ittisal Fardi)
Cara ini oleh para ahli sirah Rasulullah saw disebut “tahapan sirriyah dalam da’wah”. Dalam tahap ini Rasulullah saw mendatangi secara pribadi kerabat dan teman-teman dekatnya yang dapat dipercaya untuk menjaga apa yang disampaikannya. Jalan ini perlu ditempuh pada dua keadaan yaitu pada keadaan permulaan da’wah dalam penegakkannya, serta pada saat pemerintahan yang berkuasa melarang da’wah secara terang-terangan.
2.      Kontak umum (Ittisal Jama’i)
Cara ini oleh para ahli sirah disebut “tahapan da’wah terang-terangan”. Dalam tahap ini Rasulullah saw menggunakan beberapa sarana, diantaranya:
(1)   Mengumpulkan manusia dalam suatu jamuan makan dirumahnya, kemudian menyampaikan prinsip-prinsip da’wah kepada mereka.
(2)   Mengumpulkan manusia diberbagai tempat, contoh di bukit Shafa kemudian menyampaikan risalah Allah kepada mereka
(3)   Pergi ketempat-tempat pertemuan manusia dan menyampaikan da’wah Allah kepada mereka
(4)   Pergi ke berbagai negara untuk menyampaikan da’wah
(5)   Mengirim surat kepada para kepala suku dan raja

B.     Aspek Penataan Dalam Penyebaran Da’wah
1.      Hendaknya para da’i menentukan prinsip-prinsip yang akan dimulai sesuai dengan skala prioritasnya.
2.      Membuat kesepakatan dengan orang yang sudah menerima da’wah dan menyetujui prinsip yang sudah ditentukan.


    II.            PEMBENTUKAN DA’WAH
Pembentukan (takwin) merupakan tindak lanjut dari rambu pertama baik dalam kontak pribadi maupun jama’i. Rambu kedua ini merupakan penyempurna dan penyambung rambu pertama. Karena itu, orang-orang yang berhenti pada rambu pertama dan tidak mau beralih pada rambu kedua adalah orang-orang yang berda’wah tidak sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sasaran pada rambu kedua ini ialah mengubah akal yang jahiliyah kepada ilmu, hikmah dan ma’rifah, dan mengubah moral dan perilakunya dari kesesatan kepada kesucian.
A.      Sisi Penataan
(1)   Takwin dalam tahapan sirriyah
Takwin dalam keadaan ini Rasulullah saw membagi orang-orang yang telah menerima da’wahnya dalam beberapa kelompok kecil.
(2)   Takwin dalam tahapan ‘alaniyah
Dalam tahapan ini takwin yang dilakukan Rasulullah antara lain
·         Membuat beberapa halaqah besar
·         Mengadakan perjalanan (rihlah) jama’iyah tertentu, dalam hal ini hijrah ke Habasya dan Madinah
·         Mengkondisikan situasi umum terhadap da’wah melalui khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah umum.
(3)   Takwin dalam keadaan keduanya
·         Dilakukan secara terang-terangan oleh tokoh-tokoh Quraisy, seperti Abu Bakar ra.
·         Dilakukan secara sirriyah oleh kelompok kaum muslimin yang lemah dan tidak memiliki dukungan kekuatan.

 III.            KONFRONTASI BERSENJATA TERHADAP MUSUH DA’WAH
A.    Momentum Konforntasi
Penentuan titik tolak konforntasi sepenuhnya wewenang pimpinan tertinggi jama’ah. Dan untuk mementukan titik tolak konfrontasi itu ada beberapa pengarahan
1.      Independensi tempat
Jama’ah tersebut harus berkuasa penuh terhadap bumi tempat berpijak dan melancarkan aktifitasnya. Dalam hal ini jama’ah harus mengusai ekonomi, keamanan jalur komunikasi dan sarana pertahanan yang memadai. Selain itu jama’ah harus mempunyai basis geografis yang jelas. Ini penting sebagai pusat pertahanan dan pusat pembinaan.
2.      Jumlah yang memadai
Maksudnya anggota jama’ah hendaknya mencapai jumlah atau persentasi tertentu dibandingkan kekuatan musuh.
 IV.            SIRRIYAH DALAM KERJA MEMBINA JAMA’AH
Maksud sirriyah dalam kerja membina jama’ah ialah membatasi pengetahuan program kerja pada lingkungan pimpimnan. Setiap individu dalam kerja sirri ini tidak boleh mengetahui tugas anggota yang lain, tetapi harus mengetahui tugas pribadinya.
Sirriyah adalah suatu prinsip yang sangat penting dalam gerakan pembinaan jama’ah, terutama pada tahap-tahap pertama, agar tidak diberangus dalam usia dini. Sirriyah hanya pada penataan (tanzhim) saja, bukan menyangkut pemikiran atau nilai-nilai Islam yang dikemukakan.
    V.            BERSABAR ATAS GANGGUAN MUSUH
Sikap sabar ini tercermin dalam seluruh keadaan umat Islam di Mekkah sebelum hijrah. Tidak ada satupun keadaan da’wah Islam di Mekkah pada tahapan tersebut kecuali menampakkan sifat kesabaran umat Islam. Kita dapat melihat kesabaran mereka atas penghinaan dan provokasi, kendati sebagian anggota jama’ah mempunyai kemampuan untuk melawan. Namun umat Islam tetap diperintahkan untuk menahan diri.
 VI.            MENGHINDARI MEDAN PETEMPURAN
Sesungguhnya fikrah menjauhkan kaum Muslimin dari konfrontasi merupakan taufiq (petunjuk) Allah SWT kepada Rasul-Nya. Menjauhi konfrontasi pada tahap takwin adalah sikap yang diwajibkan Islam dan dituntut oleh jama’ah pada tahapan masih awal, karena ini juga merupakan upaya perlindungan bagi pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT.
Salah satu bentuk menghindari konfrontasi ini adalah hijrahnya umat Islam ke Habasyah dan Madinah. Walaupun orang melihat sebagai bentuk ketidakberdayaan umat Islam ketika itu, namun ini sesungguhnya taktik yang sangat jitu. Mengingat beberapa tahun kemudian umat Islam kembali ke Mekkah dalam rangka penaklukan.

BAGIAN KEEMPAT
TABIAT JALAN MENUJU JAMA’ATUL MUSLIMIN

Tabiat ini telah banyak dibicarakan dalam Al-Quran, dapat disimpulkan menjadi dua ketegori: kebaikan dan keburukan, antara lain.
1.      Penganiayaan dari kebathilan dan para pelaku kebatilan, kemudian dia tidak mendapatkan penolong yang membela dan mendukungnya
2.      Fitnah yang menimpa keluarga dan orang-orang yang dicintai lantaran dirinya, sementara itu dia tidak mampu membela mereka, padahal mereka memintanya berdamai dan menyerah demi cinta dan keselamatan keluarga
3.      Pemihakan dunia kepada orang-orang yang menolak kebenaran, dan anggapan manusia bahwa mereka adalah orang-orang yang sukses sehingga mendapatkan perhatian masyarakat. Sementara itu, orang yang beriman terabaikan dan tak seorangpun mau membelanya
4.      Keasingan di tengah lingkungan karena aqidah, sehingga bila ia memandang orang dan masyarakat sekitarnya, terlihatlah mereka sedang tenggelam dalam lembah kesesatan
5.      Ia mendapati bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia ini tenggelam dalam kenistaan, tetapi mereka maju dan berperadaban modern, bahkan memiliki kekuatan dan kekayaan yang digunakan untuk memusuhi Allah dan agama-Nya
6.      Fitnah popularitas dan daya tarik kehidupan dunia. Ini merupakan bencana besar karena justru mendapatkan dukungan fitrah dan tabiat kemanusiaannya
7.      Fitnah lambatnya kemenangan dan panjangnya perjalanan
8.      Fitnah kebanggaan diri dan penyandaran segala sesatu kepada dirinya setelah tercapai kemenangan.
Tabiat jalan ini mempuyai sasaran tertentu, yaitu untuk mengtahui yang shalih dari yang thalih, dan membuang yang jelek dari yang baik, serta membersihkan barisan dari unsur-unsur yang akan mengakibatkan kehancuran.

1 komentar:

KITA

Kita begitu Romantis.. Bahkan bisa jadi lebih romantis dari mereka yangg terlihat Romantis.. Duhai cinta, Sering Ku bisikkan namamu ke b...