Seorang Pangeran di sebuah negeri sedang menuju ke rumah penasihat istana untuk minta pelajaran. Beberapa bulan lagi, sang raja akan menobatkannya sebagai raja baru di negeri yang subur makmur itu.
Karena itulah, sang pangeran berharap agar penasihat istana bisa memberikan bekal yang berharga.
"Guru, beri aku pelajaran agar tidak mengecewakan ayah dan penduduk negeri ini," ucap sang pangeran sambil memberi hormat kepada penasihat istana.
Wajah tua yang disebut guru oleh pangeran tampak berseri.
Sambil tersenyum lembut, kepalanya mengangguk pelan.
"Anakku, pergilah ke hutan sebelah timur kerajaan ini. Tinggallah disana beberapa hari. Perhatikan dan dengarkan baik-baik suara suara disana. Setelah kau tangkap suara itu, kembalilah kesini. Ceritakan semua padaku," tutur kata bijak sang guru penuh wibawa. "Baik, Guru!" Ucap pangeran seketika.
Tiga hari sudah sang pangeran di hutan itu. Tapi, tak satu pun suara yang berhasil ia tangkap kecuali kicauan burung di siang hari, dan derik jangkerik disaat malam. Tak ada yang bisa dipahami selain suasana hutan seperti biasa. "Ah, apa pesannya kurang jelas," bisik batin pangeran agak ragu. Ia pun memutuskan untuk kembali ke penasihat istana.
"Anakku, tiga hari belum cukup untuk menangkap suara-suara itu. Tinggallah di sana satu hingga tiga bulan. Gugurkan egomu. Kikis semua nafsu berkuasamu. Satukan dirimu bersama alam. Saat itu, suara-suara itu akan kau tangkap dengan begitu jelas," ucap sang guru ketika sang pangeran tiba di rumahnya.
Kali ini, sang pangeran lebih siap. Ia pahami semua nasihat gurunya. Hari demi hari ia selami semua dinamika yang terjadi dihutan. Mulai dari tiupan angin lembut hingga yang dingin menusuk tulang. Gemericik aliran air jernih ketika berbenturan dengan batu-batu Sungai. Siulan burung yang bersahut sahutan menyambut pagi. Serta, dendang lagu kumbang-kumbang menyambut malam.
"Guru, kini aku paham maksudmu. Aku telah menangkap suara-suara itu. Ya, rangkaian aspirasi keseimbangan alam disekelilingku. Kalau aku mampu menangkap suara-suara mereka yang tampak bisu. Mestinya aku lebih mampu menangkap aspirasi rakyatku," ucap batin sang pangeran sesaat kemudian.
***
Teman, hidup adalah mengisi segala bentuk posisi yang telah disediakan Allah. Dan menjalani hidup berarti menerima segala amanah kekuasaan. Ini berarti bahwa pada keadaan normal, setiap manusia adalah penguasa.
Sebagai ayah, ibu, atau anak. Paling tidak, ia penguasa dirinya sendiri.
Saat itulah, menangkap suara aspirasi bukan lagi kerjaan sambilan yang kerap tenggelam dengan hingar bingar ego. Bahkan pada kemestiannya, aspirasi bukan lagi sekedar di tangkap.
Tapi dikelola dan diperjuangkan semaksimal mungkin. Kalau tidak, kita hanya akan tetap menangkap aspirasi sebatas siulan burung disaat siang dan derik jangkerik di waktu malam.
sumber: dikutip dari majalah saksi no.17 Tahun VI 23 juni 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar